Kamis, 11 Agustus 2011

Membingkai Miniatur Cinta

Pagi ini tak begitu cerah, mendung mengumpal di awan. Di ruang tengah rumah keluargaku inilah prosesi ijab qobul dilaksanakan. Kulirik calon suamiku yang duduk disebelah Abah, terlihat  tegang karena Pak Penghulu sebentar lagi memulai prosesi.

"Saya terima nikahnya Fathiya binti Hananto Amijoyo dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!" suaranya lantang tanpa getar.

"Sah?" tanya Pak Penghulu pada para saksi.

"Sah!" serempak para saksi menjawab.

Alhamdulillah ..., tak terasa air mataku menetes. Subhanallah, hanya dalam hitungan beberapa menit saja sudah merubah statusku menjadi seorang istri.

Fahmudin adalah suamiku, lelaki yang belum lama aku kenal, saat ini sudah sah menjadi suamiku menurut Islam dan hukum negara. Lelaki yang menjadi imamku, menjadi ayah dari jundi-jundi kecilku nantinya

Selesai ijab, kuberanikan menatap suamiku. Senyum tipis mengembang. Tersipu malu karena dandanan menor yang melekat di wajahku. Dandanan yang membuatku bingung beberapa hari sebelum ijab dilaksanakan. Aku hanya menginginkan dandanan yang sederhana. Maklum putri ragil dari 6 saudara, Abah meminta harus pakai adat Jawa, kakak yang satu minta harus dandan ke salon, yang lain minta biasa aja, yang lainnya mengusulkan tanpa make up agar terjaga syar'i-nya. Akhirnya aku putuskan mengundang perias manten ke rumah untuk sekedar menata make up.

Kujabat tangan suamiku, kucium punggung tangannya seraya berdo’a “Ya Allah berilah kemudahan dalam mentaatinya karenaMu”.

Acara walimahan masih ba’da dhuhur. Aku berpikir, bagaimana dengan sholat dhuhurku nantinya, kalau bermake up tebalnya kayak gini.

Kuberanikan SMS suamiku yang istirahat di rumah tetangga sebelah yang memang untuk tempat manten pria, "Akh, tamunya nanti bisa datang bakda dhuhur pas nggak ya?"

"Belum tahu, Ukh, kenapa?” balasnya.

"Ya, mengatur waktu sholat dhuhurnya. Kalau bisa datang habis dhuhur pas kan sebelum asar masih ada waktu sholat dhuhur," balasku mengutarakan kebingunganku.

Lama tidak ada jawaban. Ku tulis lagi, "Akh, kalau di-jamak gimana ya?" Hati kecilku bergumam, alasannya nggak syar’i! Berkecamuk dalam jiwaku antara sholat dhuhur atau dijamak nanti sekalian asar.

Tak lama hp bergetar Fahmudin dengan pesannya, "Tanya Mas Fahmi?"

"Hah, suamiku mana???" balasku sedikit kecewa. Hufh, sudah punya suami kok malah nyuruh tanya kakak. Fahmudin sekarang engkau adalah imamku.

"Dijamak juga nggak apa-apa, asalkan tidak meninggalkan sholat dan masih ada waktunya," jawabnya entah mendapatkan dasar dalil dari mana.

"Ya," jawabku singkat.

Selama menunggu rombongan dari suami datang, termenung dan berpikir bagaimana sholat dhuhurku! Tak sepatutnya aku meninggalkan sholat wajib hanya demi lunturnya make up. Hanya karena nanti mau dipanjang jadi ratu sehari di pelaminan. Hanya agar terlihat cantik di mata semua orang, terutama dari pihak lelaki. Tapi betapa rendahnya aku di mata Allah. Astagfirullah ….

Azan dhuhur berkumandang, tak berpikir lama aku langsung mengambil wudhu. Tak peduli omongan orang nanti, yang penting sholat wajib kupenuhi.

Habis sholat, kubenahi dandanan yang sudah luntur karena air wudhu. Kulihat di cermin tak begitu banyak yang berubah, sama saja. Barulah aku keluar rumah.

"Eh, diapain tuh dandanannya? Kok jadi hilang bedaknya, tinggal maskernya?" tanya Gressa saudara sepupu non muslim yang kebetulan berpapasan denganku di depan pintu.

"Nggak diapain-apain, hilang sendiri kok!” jawabku dengan senyum.

Kukirim SMS ke suamiku, “Alhamdulillah, ana sudah shalat dhuhur, Akh. Afwan dandanannya jadi hilang. He…he…he…”

"Syukurlah, Ukhti. Nggak masalah buat ana. Kecantikan hati yang ana inginkan," jawabnya tegas.

Selesai acara di rumah keluargaku, besok paginya aku diboyong ke rumah mertua. Baru pertama kali ini aku menginjak halaman rumah orangtua suamiku. Semenjak ta’aruf aku memang belum pernah silaturahim ke sini.

Pertama kali aku memasuki halaman rumahnya, ada tetes mata yang tertahan di mataku, kulihat -subhanallah- sederhana banget. Keadaan rumah bukan masalah buatku, asalkan keluarga bisa menerimaku apa adanya, semua kelemahan dan kekuranganku, itulah salah satu syarat sebelum kami melanjutkan ta’aruf.

Awal yang berat buatku, karena aku putri ragil yang masih ingin bersama Ummi dalam setiap keluh, kesah, dan kesalku. Dan sekarang, aku sudah punya imam yang menjadi panutan setelah Allah SWT dan Rosul-Nya, sudah punya tempat untuk berbagi setiap masalah.

"Akh, tolong antar ana pulang ...," pintaku memelas.

"Kenapa? Enggak betah? Ukh, kasian mamak, disini enggak ada temannya, cuma kita yang harus menamani beliau disini, adik sudah tinggal di tempat istrinya?" jawabnya mengharapkan pengertianku, betapa berartinya kami di sini.

"Ya, udah," jawabku dengan menahan air mata agar tidak keluar di depan suamiku.

"Afwan kalau harus memaksakan ukhti tetap tinggal di sini, ana tidak tega meninggalkan mamak sendirian," katanya lagi, "Ukh, ana janji, ana akan antar dan kita nginap di rumah orangtua Ukhti seminggu sekali ya?"

Bicaranya penuh senyum. Ku tatap dengan penuh kebahagiaan. "Iya, makasih ...." Menghambur dalam pelukannya.

Hari-hari dihiasi dengan penuh kebersamaan, ketentraman, kenyamanan, dan bahkan sudah mulai kerasan tinggal di rumah mertua. Setiap kerja diantar dan dijemput suami, kemana-mana diantarin, kajian rutin pun berjalan lancar berkat suami, bahkan suami mulai rajin ikut kajian di salah satu daerah kami tinggal.

"Akh, ngaji yuk?," ajakku.

"Malu, Ukh, dulu enggak pernah ikut kajian," alasannya.

"Weh, nggak boleh gitu! Menikah menyempurnakan dien kita, menikah bukan menjadikan kita mundur tetapi harus menjadikan kita lebih taat pada Allah SWT. Bukankah tujuan kita menikah untuk membentuk sebuah negeri Islam di rumah kita? Kita adalah pondasi negeri Islam itu, dan jundi-jundi kecil kita nantinya yang menjadi rakyatnya. Bukankah begitu, kesepakatan kita dulu?"

Suamiku tersenyum menyadari keteledorannya. "Iya, Kita mulai dari sekarang," ujarnya semangat.

Kerutinan yang kami jalani sudah berjalan lancar, mulai dari sholat jamaah, sholat sunah, dhuha, tilawah, dan hafalannya.

Sejak awal kehamilan, aku hanya bisa melaksanakan tilawah satu lembar perhari. Menghafal surat-surat di juz 30 saja terasa berat. Padahal dulu masih lajang, mudah sekali menghafal. Begitu juga dengan suami, sibuk dengan facebook-nya.

"Ukh, menghafal kok sulit ya?" tanyanya.

"Iya, sama, Akh, ana juga, malah banyak yang hilang hafalannya. Sering facebook-an kali antum?” jawabku asal.

Facebook yang membuat aku cemburu, banyak dicuekin, shalat jadi telat, tilawah cuma sebentar, padahal facebook-nya bisa berjam-jam.

Seminggu sekali, kami mengikuti kajian tahsin di masjid. Ada 5 santri yang aktif. Pak Ustadz mengecek hapalan santri-santrinya. Aku dan suamiku hapalannya paling lambat, bisa dikatakan sulit menghapal. "Suami istri kok hapalannya tertinggal terus," komentar Pak Ustadz dengan nada santai, "seharusnya, setiap hari saling cek hapalan bergantian."

"Emm, sudah dicoba tapi hilang semua," kuberanikan menyampaikan kendala kami.

"Saya punya tips untuk bisa menjaga hapalan. Yang pertama, makan makanan yang halal dan bergizi  Kedua, bebaskan telinga kita dari mendengarkan musik. Ketiga, tidak melakukan maksiat."

"Kurangi juga facebook-nya!" kataku menyerobot sambil melirik suami yang duduk berhadapan.

"Itu juga perlu!" sambung Pak Ustadz. Senyum beliau terkembang.

Perjalanan pulang, kugandeng suamiku. "Akh, dengerin nggak tadi Pak Ustadz bilang apa?" tanyaku sambil senyum.

"Iya, afwan ya Ukh, selama ini ana kurang memperhatikan tujuan utama kita. Insya Allah mulai sekarang kita tegakkan negeri Islam kita," katanya dengan penuh kesungguhan.

Malam yang penuh keindahan dilangit, bersama kebahagiaan di hati kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar